Peta Situs

Kumpulan Catatan Kumpulan Catatan

Sering Dibaca

Diberdayakan oleh Blogger.
Minggu, 03 Maret 2013

Filsafat Humor Nasruddin

Pernahkah Anda mendengar atau membaca nama Nasruddin, Nasruddin Hoja atau Nasruddin Juha dalam literatur sastra Arab? Ya, itulah nama-nama yang mengacu pada satu sosok terkenal yang kisah-kisah hidupnya terekspresikan dalam budaya dan folklore (cerita-cerita rakyat) orang-orang Arab. Ia bukan tokoh dongeng atau fiksi yang menjadi pemeran utama suatu cerita dan mengilhami ragam warisan budaya Arab, melainkan benar-benar merupakan figur yang pernah hidup pada masa kekuasaan dinasti Umawiyah dan Abbasiyah sekitar tahun 100 H. Dari kisah-kisahnya, Nasruddin mengekspresikan suatu pemberontakan dan kritik sosial terhadap kultur yang sedang berjalan dengan gayanya yang khas, jenaka, menghibur, namun inspiratif, cerdas dan menyentuh. Kritik-kritik yang dilontarkan dalam kisah-kisah Nasruddin ditujukan untuk menggambarkan suasana kemerosotan nilai-nilai luhur dari sistem sosial dan kultur yang dibangun oleh segenap lapisan masyarakat dan aktor-aktor budaya, mulai dari para penguasa, penyelenggara pemerintahan, para hakim, hingga masyarakat biasa.


Kisah-kisah Nasruddin telah membentuk semacam konstruk cara pandang dunia (weltanschauung) yang unik. Pakar sastra Arab menyebutkan bahwa kecerdasan “cara pandang dunia” atau “filsafat Nasruddin” dapat diungkap melalui dua sisi penelaahan. Sisi pertama, gaya tokoh Nasruddin dalam menghadapi suatu persoalan, yaitu sebagaimana dia dengan pikirannya yang cemerlang mampu mentransformasikan suatu derita menjadi sesuatu yang menyenangkan berdasarkan kondisi psikis yang tepat ketika menghadapi kenyataan dan beban kehidupan. Jadi, keterlibatan seseorang dalam suatu peristiwa, dan keberhasilannya keluar dari peristiwa tersebut dapat melahirkan kegembiraan, malah membuatnya tertawa. Dengan demikian Nasruddin mampu menantang kehidupan, menceburkan diri ke dalamnya, dan menciptakan dirinya sebagai pribadi lain yang berbeda dengan pribadi sebelumnya, sehingga ia mampu keluar dari persoalan dan kesulitan yang membelitnya, malah melecehkannya, dan dengan kecerdasannya ia mengemas malapetaka menjadi cerita-cerita menarik, lucu, manusiawi, dan meringankan beban kehidupan. Inilah yang mendorong nurani masyarakat menjadikan Nasruddin sebagai kenyataan dan simbol dari salah seorang ahli bijak (filosof).

Sisi kedua “filsafat Nasruddin” terletak pada pembentukan corak kepribadian yang dimunculkan. Tokoh Nasruddin bukanlah pribadi yang didominasi ketololan atau kedunguan, melainkan sebenarnya ia malah pribadi yang menonjolkan sikap atau perilaku yang pura-pura bodoh, perilakunya menggambarkan kecerdasan terpendam yang mencari inti hakikat sesuatu persoalan, yang tentu saja jauh dari sikap tolol atau kurang waras. Nasruddin adalah seorang manusia yang menggeluti segala persoalan, bagaimanapun pelik dan sulitnya, menguraikannya dari sisi yang paling mendekati kebenaran dan kenyataan, meskipun akan berakibat pada keadaan yang seolah-olah ia mempunyai sikap yang kontradiktif dengan sikap dan perilaku orang-orang lain yang sedang merasakan betapa jauhnya kebenaran dari mereka, padahal sebenarnya ia justeru sedang berusaha meluaskan pandangan mereka ke depan. Nasruddin adalah orang yang terang-terangan dalam mengungkapkan kepribadian dirinya sendiri. Sama sekali ia tidak mau tahu bila kerangka sosial-politik yang sedang berlaku sedang memaksa masyarakat untuk bungkam atau mengungkapkan kehendak mereka dalam bentuk simbol-simbol. Nasruddin hanya tunduk pada kehendak-kehendaknya sendiri yang spontanitas. Karakteristik kepribadian yang demikian, membuatnya tidak memiliki perasaan takut atau memendam rasa. Bahkan hal ini membuatnya tampak lebih kuat dari orang-orang lain, yang barangkali menjadikan kepribadian tokoh ini lebih mirip dengan kepribadian orang yang terbebas dari tugas sosial.

Berikut ini di antara kisah jenaka Nasruddin yang mengkritisi sisi moralitas manusia dengan gayanya yang menggelitik:


Nasruddin Dan Si Pelit Orang Turki 

Diceritakan suatu hari Nasruddin berdiri di depan pintu rumah seorang kaya raya berkebangsaan Turki. Hartawan tersebut memiliki banyak pembantu. Nasruddin datang ke rumah hartawan itu untuk meminta bantuan. Saat itu sang hartawan kebetulan sedang duduk-duduk di beranda rumahnya yang besar dan mewah. Mendengar permohonan bantuan yang dikemukakan Nasruddin, hartawan tersebut pun berkata kepada salah seorang pembantunya: “Marjan, kemarilah!, katakan kepada si Fairus agar ia menyuruh si Yaqut untuk mengatakan kepada orang yang tak tahu diri ini: ‘Semoga Allah menurunkan rezeki-Nya kepadamu lewat orang lain!’” 

Mendengar perkataan sang hartawan tersebut, Nasruddin betapa kesal dan marahnya. Ia pun mengangkat kedua tangannya, lalu berdoa di depan si hartawan Turki itu, “Ya Tuhan!, perintahkanlah kepada Israfil agar ia memerintahkan Mikail untuk mengatakan kepada Izrail, ‘Cabutlah segera nyawa si Turki yang pelit ini!’”. 


Nasruddin Dan Orang Yahudi 

Suatu pagi, setelah melakukan shalat, Nasruddin yang masih duduk di atas tikar berdoa, “Ya Tuhan!, karuniakanlah kepadaku uang sebanyak seribu dinar. Bila kurang, aku tidak akan menerimanya.” 

Kebetulan tetangganya yang Yahudi mendengar doanya yang aneh tersebut. Si Yahudi pun bermaksud menguji-coba kejujuran Nasruddin. Si Yahudi lalu mengambil uangnya sebanyak sembilan ratus sembilan puluh sembilan dinar dan memasukannya ke dalam sebuah kantung. Lalu, lewat jendela, ia melemparkan kantung tersebut ke dalam ruangan di mana Nasruddin berada. Betapa riang dan gembiranya hati Nasruddin saat ia mengetahui ternyata isi kantung itu uang dinar. Ia pun menghitungnya dan ternyata kurang satu dinar. Ia pun berkata lagi, “Tuhan yang dengan senang hati memberiku uang dinar banyak begini tidak akan pelit memberiku uang satu dinar lagi!”. Lalu dengan bersiul-siul ia memasukkan kantung tersebut ke dalam sebuah peti. 

Semua gerak-geriknya ini diintip dan diperhatikan oleh si Yahudi. Betapa marah si Yahudi melihat kelakuan Nasruddin mengambil kantung itu, bukan malah menolaknya seperti dikatakannya dalam doanya. Si Yahudi itu pun lalu menggedor pintu rumah Nasruddin. Mendengar pintu rumahnya digedor orang, Nasruddin lalu membukanya. Ketika tahu orang yang menggedor adalah tetangganya yang Yahudi itu, ia pun bertanya, “Ada apa, Tuan Cohen?” Jawab si Yahudi, “Nasruddin!, kembalikanlah kantung berisi uang yang kau simpan di peti itu!” Ujar Nasruddin, “Lho, kok aneh Anda ini, aku yang memintanya kepada Tuhan, kok sekarang Anda mau memintanya?” Jawab si Yahudi, “Akulah yang melemparkan kantung itu ke dalam kamarmu. Hal ini aku maksudkan untuk menguji-coba ucapanmu dalam doamu tadi!”. 

Kedua orang itu pun akhirnya terlibat dalam adu mulut dan pertengkaran yang sengit. Si Yahudi berkata kepada Nasruddin, “Aku tidak akan pergi sebelum kamu mau pergi bersamaku ke pengadilan untuk menyelesaikan persoalan ini!” Usul si Yahudi ini diterima oleh si Nasruddin, “Baik, persoalan ini kita selesaikan di pengadilan. Tetapi, saat ini aku sedang tidak enak badan, aku tidak tahan berjalan dan khawatir udara yang sangat dingin menggangguku. Aku tidak mempunyai baju tebal dan sepatu. Karena itu, berikanlah keledaimu kepadaku untuk aku naiki. Juga berilah aku mantel tebal dan sepatu. Bila semua itu dapat kau penuhi, aku mau pergi bersamamu ke pengadilan!” Benar juga akhirnya semua permintaan Nasruddin tersebut dipenuhi oleh si Yahudi. 

Si Yahudi dan Nasruddin pun berangkat ke pengadilan. Kepada hakim yang menangani perkara mereka, si Yahudi mengemukakan bahwa Nasruddin mengambil kantungnya yang berisi uang sebanyak sembilan ratus sembilan puluh sembilan dinar yang ia maksudkan untuk menguji-coba kebenaran ucapan Nasruddin dalam doanya. Setelah mendengar pengaduan si Yahudi tersebut si hakim pun bertanya kepada Nasruddin, “Nasruddin!, benarkah apa yang diadukan oleh tetanggamu ini?” Ucap Nasruddin, “Menurut Pak Hakim, bisa diterima akal-kah pengaduan tetanggaku ini? Mungkinkah orang Yahudi yang terkenal pelit ini melemparkan uang sebanyak 999 dinar?, ini uangku sendiri dan hasil keringatku sendiri. Tetanggaku ini, Cohen, terkenal suka mengadukan orang lain. Bukan hal yang aneh bila ia sering berselisih dengan para tetangga. Pak Hakim!, aku khawatir ia juga akan menuduhku bahwa mantel dan sepatu yang aku pakai ini, juga keledai yang aku naiki itu, semuanya diakui miliknya!” Mendengar jawaban Nasruddin tersebut, si Yahudi tidak kuat menahan amarahnya, lalu berkata kepada hakim, “Pak Hakim!, Nasruddin pembohong! Mantel, sepatu, dan keledai yang dikatakan Nasruddin itu benar-benar milikku!” Ucap Nasruddin, “Nah..., benar...kan Pak Hakim? Bukankah telah aku katakan, si Yahudi akan mengajukan tuduhan yang tidak-tidak. Memang demikian itulah perilakunya!”. Ucap si hakim kepada orang Yahudi tersebut, “Enyahlah kamu dari sini!, Ucapan Nasruddin benar!, kamu memang pembohong dan penipu. Keluar dari sini...!, bila tidak, aku akan menjebloskanmu ke dalam penjara!” 

Keluarlah si Yahudi dari ruang sidang tersebut dengan perasaan geram dan marah. Sementara si Nasruddin keluar dengan bersiul-siul sebagai tanda gembira, menikmati “karunia” uang, mantel, sepatu, dan keledai yang tidak terduga.



Dua contoh kisah tersebut berisi kritik sosial dan moral yang dikemas dalam bahasa yang menggelikan. Kisah-kisah itu mengarah pada sikap-sikap negatif manusia, yang dihimpun kemudian dikritik lewat gaya unik yang memadukan antara humor, sindiran, dan kebijaksanaan (wisdom). Karena itu bukan hal yang aneh jika kisah-kisah Nasruddin seperti tersebut banyak menyinggung cela sosial, psikis, dan moral. Kisah-kisah itu melalui sindiran dan sentilannya yang mengena, juga menguak banyak watak dan sikap manusia. Misalnya saja watak dan sifat negatif manusia yang bertentangan dengan sikap dan watak yang ideal, seperti sikap acuh, pelit, rakus, dan pembohong.

Dapat disimpulkan bahwa filsafat humor atau filsafat sosial Nasruddin terpusatkan pada dua aspek utama manusia, yaitu cela sosial dan cela moral. Filsafat ini sendiri dimaksudkan agar perilaku sosial yang matang dan perilaku moral yang lurus dapat tercapai, sehingga dengan pencapaian tersebut masyarakat dapat memelihara kesatuannya dan kesehatan psikisnya.



Referensi:

Muhammad Rajab An-Najjar, 
Juha al-‘Arabi: Syakhsiyyatuhu wa Falsafatuhu fil Hayati wat-Ta’biri
 

 

Artikel Lainnya:

1 komentar: